Ads 468x60px

Jumat, 11 Januari 2013

MK Batalkan Status RSBI

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan yang mengejutkan. Selasa (8/1) kemarin, di ruang sidang lantai 2 Gedung MK, Mahfud MD dan para hakim lainnya memutuskan untuk menghilangkan status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).

Lembaga penjaga konstitusi itu memastikan kalau RSBI bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh hakim Anwar Usman, MK menyoroti mahalnya masuk sekolah dengan status RSBI atau SBI (Sekolah Berstandar Internasional).

Menurutnya, ada celah sekolah memungut biaya tambahan tanpa melalui komite sekolah. ‘’Hanya keluarga mampu dan kaya yang bisa menyekolahkan anaknya di SBI/RSBI,’’ ujarnya.

Meski demikian, hakim MK tidak menutup mata ada program khusus untuk anak tidak mampu. Tetapi, kesempatan tersebut sangat sedikit dan

hanya ditujukan pada anak-anak yang sangat cerdas. Sedangkan anak tidak mampu, kurang cerdas, latar belakang lingkungannya terbatas, tidak mungkin bisa sekolah di SBI/RSBI.

Komersialisasi sektor pendidikan itu bertentangan dengan prinsip konstitusi. Padahal jelas, berdasar UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 menyebutkan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Jika status sekolah itu tetap dipertahankan, perlakuan berbeda antara sekolah SBI/RSBI dan biasa makin terlihat.

‘’Baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan, maupun output pendidikan. Termasuk perlakuan beda terhadap siswa,’’ ujarnya.

Padahal, prinsip konsitusi menyebutkan, harus ada perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik. Apalagi, jika sekolah itu sama-sama milik pemerintah.

MK tidak yakin keberadaan SBI/RSBI bisa memajukan pendidikan nasional. Menurutnya, segala perbedaan fasilitas justru membuat sekolah berstatus SBI/RSBI saja yang kualitas rata-ratanya lebih baik.

Bagaimana dengan sekolah biasa? Tentu saja tertatih mengejar. Padahal, sekolah yang berstatus SBI/RSBI sangat terbatas.

Lebih lanjut hakim Anwar Usman menjelaskan, mahkamah bukan tidak mendukung adanya perlakuan khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan lebih. Tetapi, tidak tepat jika dilakukan dengan model SBI/RSBI. Ia menyebut cara itu justru memperlihatkan sikap negara yang pilih-pilih pada sekolah.

‘’Jika negara hendak memajukan, serta meningkatkan kualitas sekolah yang dibiayai oleh negara, maka negara harus memperlakukan sama. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negaranya menjadi cerdas. Salah satunya, melalui penyelenggaraan satu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga tanpa terkecuali,’’ tegasnya.

MK juga mempertanyakan standar internasional yang menjadi embel-embel sekolah unggulan itu. Mahkamah berpendapat tidak ada standar internasional yang menjadi rujukan. Jadinya, SBI/RSBI mengambang.

Lulusannya bisa kehilangan jati diri bangsa. Kalau sudah demikian, berarti telah mengkhianati maksud dan tujuan pendidikan nasional.

Salah satu yang diungkap dalam fakta persidangan adalah sekolah RSBI cenderung menonjolkan kemampuan siswa berbahasa internasional seperti Bahasa Inggris. Mahkamah menilai, istilah standar internasional dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas tidak sesempit itu. ‘’Berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia,’’ tegasnya.

Kehebatan peserta didik yang tolok ukurnya dengan kemampuan berbahasa asing dinilai tidak tepat. Itu justru bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional yang harus menanamkan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia kepada anak didik. Dia lantas mengutip Pasal 25 ayat 3 UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

Isi peraturan itu menyebutkan, kalau Bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa resmi negara dan berfungsi sebagai bahasa pengantar pendidikan.

Artinya, MK tidak melarang sekolah memberikan porsi lebih pada bahasa asing. Tetapi, tidak sebagai pengantar karena bahasa resmi Indonesia masih Bahasa Indonesia.

Atas dasar itu, kemarin, Ketua MK, Mahfud MD tidak ragu untuk mengabulkan sepenuhnya gugatan tujuh warga terhadap pasal 50 ayat (3) UU 20/2003 tentang Sisdiknas.

Tujuh dari delapan hakim sepakat jika RSBI dibatalkan, dan hanya satu hakim, Achmad Sodiki yang berbeda pendapat. ‘’Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,’’ kata Mahfud.

Kuasa hukum pemohon, Wahyu Wagiman, yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan, mengaku puas dengan hasil sidang. Dia menyebut kalau pendidikan memang tidak seharusnya di komesilkan. Keputusan itu, lanjutnya, juga berarti kemenangan bagi warga miskin yang selama ini kesulitan masuk sekolah bermutu.

Wagiman menyebut kalau putusan itu harusnya menjadi pintu masuk bagi sekolah-sekolah unggulan milik pemerintah untuk lebih ramah pada siswa miskin. Mereka harus banyak memasukkan anak kurang mampu agar kemampuan akademiknya sama dengan si kaya.

‘’Kalau SBI/RSBI tidak dihapus, di masa depan akan ada dua generasi berbeda,’’ terangnya.

Dua generasi itu, yang pertama mendapat fasilitas pendidikan, dan yang kedua tidak dapat itu semua. Dia yakin setelah ini kualitas pendidikan harusnya bisa makin merata. Jika anggaran yang ada tidak dipermainkan, dia yakin penghapusan SBI/RSBI akan memberikan perubahan berarti pada dunia pendidikan Indonesia.

Untuk implementasinya, ia menyebut kalau sekolah SBI/RSBI bukan dihancurkan karena hanya status yang dicopot. Hanya saja, segala praktik yang terkait RSBI harus dihilangkan. Begitu juga dengan bahasa asing yang dibanggakan menjadi pengantar, harus diubah hanya menjadi bahasa penunjang.

Tak Boleh Pungut SPP
Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) langsung mengebut penerbitan aturan baru pascaputusan MK yang menganulir SBI/RSBI. Di antaranya ketentuan yang akan diterbitkan, SD dan SMP bekas RSBI tidak boleh memungut SPP kepada siswa.

Kemendikbud mengakui jika dari putusan MK itu, saat ini sudah tidak ada lagi label RSBI. Termasuk juga aturan-aturan yang ada di dalamnya.

Selama ini, SD dan SMP RSBI boleh memungut SPP kepada siswa. Padahal SD dan SMP non RSBI dilarang. Dengan putusan MK itu, berarti seluruh sekolah yang dulunya RSBI tidak boleh memungut SPP. Khusus untuk jenjang SMA sederajat sejak awal memang diperbolehkan menarik SPP, baik yang RSBI maupun non RSBI.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dirjen Dikdas) Suyanto mengatakan, sekolah bekas RSBI tidak perlu khawatir kekurangan dana. Dia mengatakan jika sumbangan orangtua siswa bakal terus mengalir. ‘’Orangtua pasti tidak sulit membantu. Apalagi tahu kualitas RSBI selama ini seperti apa,’’ katanya.

Suyanto mengatakan, jika sekolah bekas RSBI tetap boleh menerima sumbangan dari masyarakat. Dengan catatan benar-benar sumbangan. Seperti jumlahnya tidak ditetapkan, cara pembayarannya juga bebas, dan tidak terikat dengan sistem penerimaan atau kelulusan siswa. Dia mengatakan jika dirinya secara teknis membina RSBI di jenjang SD sebanyak 239 unit dan di SMP 356 unit.

Selain urusan SPP, ada perubuhan lain soal pengalokasian sumbangan Kemendikbud untuk RSBI dalam bentuk block grant. Rata-rata setiap unit RSBI menerima dana ini sebesar Rp200 juta hingga Rp300 juta per tahun.

Wamendikbud Bidang Pendidikan Musliar Kasim mengatakan dana subsidi itu sudah dianggarkan tetapi belum dicairkan dari pemerintah pusat. Karena putusan MK sudah terbit, maka kemungkinan besar dana subsidi RSBI tadi ditahan pencairannya. ‘’Dana itu kan untuk RSBI. Lha sekarang RSBI sudah tidak ada,’’ kata Musliar.

Dia merasa jika ketentuan ini akan membuat pengelola sekolah RSBI gelisah. Sebab Musliar yakin setiap RSBI sudah membuat rancangan belanja sekolah dengan asumsi mendapatkan suntikan dana dari Kemendikbud.

Untuk mengatasinya, Musliar menyarankan kepala sekolah bekas RSBI berkomunikasi dengan komite sekolah.

‘’Apakah kegiatannya ada yang dihapus karena untuk penyesuaian anggaran, atau juga bisa mencari sumber pendanaan lainnya,’’ tutur Musliar. Secara umum Kemendikbud menargetkan masa transisi pengapusan RSBI ini berjalan hingga masa penerimaan siswa baru 2013-2014 pertengahan tahun ini.

Pada saat itu, Kemendikbud sudah menerbitkan aturan-aturan baru khusus untuk sekolah bekas RSBI. Termasuk nama atau istilah baru, jika diperlukan.

Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, sekolah bekas RSBI dan sekolah non-RSBI bebas merebutkan dana bantuan dari pusat. ‘’Sekolah bekas RSBI atau yang non-RSBI kesempatannya sama,’’ tegasnya.

Dana bantuan pendidikan yang diperebutkan secara umum ini bernama dana hibah kompetisi. Nuh meminta para orangtua, siswa, dan guru tidak boleh resah atas putusan MK ini. Ia meminta para siswa tetap belajar seperti biasanya. Sementara para guru juga harus tetap meningkatkan kompetensinya seperti ketika masih mengajar di RSBI.

‘’Nama RSBI sudah tidak dipakai lagi. Tetapi juga nanti tidak bernama Bukan RSBI,’’ tegasnya.

Wardan: Tunggu Instruksi Kemendikbud
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus sekolah RSBI, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, HM Wardan mengatakan, pihaknya masih menunggu tindaklanjut dan keputusan dari Kementerian Pendidikan RI. Ini dilakukan, agar langkah yang dilakukan tidak melanggar aturan dan ketentuan yang berlaku.

‘’Kita hanya menunggu keputusan pihak kementerian. Yang jelas, sekolah tidak dihapus, hanya dialihkan menjadi sekolah mandiri,’’ tutur Wardan kepada Riau Pos, Selasa (8/1) malam tadi. Ketentuan itu tambah Wardan mengacu pada PP Nomor 19/2005 tentang standar nasional pendidikan.

Dalam hal ini, Dinas Pendidikan Riau mengacu pada aturan tersebut. ‘’Informasinya, Kemendikbud dalam waktu dekat ini akan berkoordinasi dengan MK pascakeputusan tersebut. Kita tentunya menunggu hasil koordinasi itu,’’ imbuh Wardan.

Untuk jumlah sekolah RSBI di Riau, dia mengatakan sekolah RSBI setingkat SMA berjumlah enam sekolah, SMK berjumlah 10 sekolah dan ada enam sekolah RSBI setingkat SMP. ‘’Intinya kita menunggu instruksi Kemendikbud. Mungkin itu dulu informasinya,’’ papar Wardan.

sumber : http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=22406&kat=2#.UO__mq8ffbM

0 komentar:

Posting Komentar